Saturday, July 30, 2011

MEMPERINGATKAN PENYIMPANGAN = MENGGIBAH (?)

Menyoroti Pembelaan Diri Orang-Orang yang Merasa Dianiaya dan Dighibah oleh Penegak Hujjah
_____________________________________________


Belakangan banyak bermunculan pembelaan diri terhadap golongan yang kerap kali menerima nasihat dan peringatan atas penyimpangan mereka. Salah satu pembelaan mereka ketika tidak lagi ditemukan pembenaran-pembenaran yang bernuansa hujjah dan dalil adalah dengan mengarahkan tuduhan kepada orang-orang yang memperingatkan mereka sebagai orang yang menggibah atau bahkan memfitnah mereka.

Benarkah bahwa kekeliruan seseorang atau suatu kelompok tidak perlu diperingatkan bahayanya? Benarkah bahwa para penyampai hujjah atas kekeliruan seseorang atau suatu golongan disebut sebagai penggibah yang diberlakukan hukum keharaman ghibah atas mereka?
Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menyimak perkataan Imam Ahmad -rahimahullah- di bawah ini:

قيل لأحمد بن حنبل رحمه الله : الرجل يصوم ويصلي ويعتكف أحب إليك أو يتكلم في أهل البدع ؟ فقال : إذا قام وصلى واعتكف فإنما هو لنفسه ، وإذا تكلم في أهل البدع فإنما هو للمسلمين هذا أفضل . اهـ . مجموع الفتاوى لأبن تيمية ج 28 ص 231

Ditanyakan kepada Imam Ahmad: Seorang lelaki yang berpuasa, shalat, i'tikaf, lebih disenangi olehmu ataukah yang berbicara tentang ahli bid'ah? Maka imam Ahmad menjawab "Ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat, i'tikaf, maka sesungguhnya itu untuk dirinya (saja), sementara ketika ia berbicara tentang ahli bid'ah maka sesungguhnya itu (manfaatnya) untuk seluruh ummat islam, dan ini yang lebih baik" (Majmu' al Fataawa, Ibn Taimiyyah, 28 / 231)

Telah jelas dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa menegakkan hujjah dan mengingatkan ummat atas suatu penyimpangan merupakan satu tindakan yang manfaatnya mencakup kepentingan seluruh ummat secara umum, dan inilah harapan terbesar yang diharapkan dari para pendakwah. Semoga Allah memberikan kelapangan hati kepada kita sekalian untuk menerima nasihat dan berlapang dada atas segala peringatan yang sampai kepada kita. Dan bahwa kebenaran lebih berhak untuk dibela dari pada sekedar ego diri dan kelompok.

Terkait persoalan ini, kami bawahakan satu kisah dalam Shahih Bukhari tentang sikap rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atas keadaan seseorang yang patut diwaspadai.

فقد روى الشيخان عن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها أنها قالت (( استأذن رجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : ائذنوا له بئس أخو العشيرة أو ابن العشيرة ، فلما دخل ألان له الكلام . قلت : يا رسول الله قلت الذي قلت ، ثم ألنت له الكلام . قال : أي عائشة ، إن شر الناس من تركه ـ أو ودعه ـ اتقاء فحشه )) رواه البخاري ومسلم

‘Telah diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara dlm kabilahnya” Ketika dia masuk maka beliau melunakkan pembicaraan terhadap orang tersebut. Saya ('Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah anda mengatakan sebelumnya demikian (rojul itu seburuk-buruk saudara dalam kabilahnya) kemudian anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?” Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah sesungguh sejahat-jahat manusia ialah orang yang ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan karena takut kekejiannya.”

قال النووي رحمه الله في شرح الحديث : قال القاضي ( أي القاضي عياض بن موسى ) ، هذا الرجل هو عيينة بن حصن ولم يكن أسلم حينئذ ، و إن كان قد أظهر الإسلام ، فأراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يبين حاله ليعرفه الناس ولا يغترّ به من لم يعرف حاله

Berkata Imam Nawawi -rahimahullah- tentang syarh hadist di atas: Berkata al Qadhi (al Qadhi 'Iyadh bin Musa), lelaki yang di maksud dalam hadist tersebut adalah 'Uyainah dan pada waktu itu ia belum-lah islam, nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan menjelaskan keadaan lelaki itu agar manusia mengetahuinya dan tidak tertipu oleh lelaki itu karena ketidak-tahuan mereka.

Berikutnya, masih tentang sikap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari memperingatkan keadaan buruk seseorang agar manusia selamat darinya:

و من قصة فاطمة بنت قيس ، حين شاورت النبي صلى الله عليه وسلم فيمن تنكح ؟ لما خطبها معاوية بن أبي سفيان وأبو جهم ، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم (( أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه ، وأما معاوية فصعلوك لا مال له انكحي اسامة بن زيد)) . رواه مسلم

Dan dari hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha ketika dia meminta nasehat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn siapa dia sebaiknya menikah? saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Adapun Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah dia miskin tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.”

Setelah mengutip hadist di atas, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah -rahimahullah- mengatakan bahwa; jika untuk urusan yang khusus seperti di atas saja, yakni untuk kepentingan seorang wanita yang dilamar, sudah dianggap penting menyampaikan sesuatu yang tidak baik untuk dihindari, apalagi untuk kepentingan umum ummat islam seluruhnya??

يقول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله بعد أن ساق هذا الحديث : و كان هذا نصحا لها ـ وإن تضمّن ذكر عيب الخاطب ـ وفي معنى هذا نصح الرجل فيمن يعامله ، ومن يوكله ، ويوصي إليه ، ومن يستشهده ، وبل ومن يتحاكم إليه ، وأمثال ذلك ، وإن كان هذا في مصلحة خاصة فكيف بالنصح فيما يتعلق به حقوق عموم المسلمين : من الأمراء والحكام والشهود والعمال : أهل الديوان وغيرهم ، فلا ريب أن النصح في ذلك أعظم . اهـ . مجموع الفتاوى ج 28 ص 230

Maka, melalui tulisan ini kami berharap semoga Allah menetapkan semangat di dalam hati setiap kita yang menginginkan kebaikan kepada orang lain, agar terus bernasihat dan tanpa putus asa menghadapi semua upaya yang ingin memadamkan terang benderangnya hujjah yang kuat. Dan semoga orang-orang yang bersih fitrah dan keadaan hatinya diselamatkan dari kekeliruan serta doktrin-doktrin yang menyesatkan.

Allahulmusta'aan...


No comments: